Bawaslu Manggarai Peringati Hari Sumpah Pemuda ke-97: Saat Demokrasi Terancam Regresi, Anak Muda Jangan Hanya Jadi Penonton
|
Ruteng, 28 Oktober 2025 – Di bawah langit Ruteng yang teduh dan diiringi semangat merah putih yang berkibar di halaman Kantor Bawaslu Kabupaten Manggarai, peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-97 menjadi lebih dari sekadar seremoni. Upacara yang digelar pagi itu berubah menjadi ruang refleksi kebangsaan yang mendalam tentang arah demokrasi Indonesia dan posisi generasi muda di dalamnya.
Ketua Bawaslu Kabupaten Manggarai, Fortunatus Hamsah Manah, dalam amanatnya menyampaikan orasi yang menggugah nalar dan nurani. Ia menegaskan bahwa demokrasi Indonesia tengah menghadapi ancaman regresi, sebagaimana disebutkan dalam kajian Thomas Power (2022) “Demokrasi Indonesia: Dari Stagnasi ke Regresi”, serta laporan LP3ES (2022) “Demokrasi Tanpa Demos” yang menyoroti lemahnya pelibatan masyarakat dalam praktik demokrasi.
“Mirisnya, kemunduran ini terjadi justru di tengah bonus demografi ketika anak muda menjadi mayoritas,” ujar Fortunatus di hadapan para peserta upacara, yang terdiri dari jajaran Bawaslu, tokoh pemuda, serta perwakilan organisasi mahasiswa di Ruteng. “Sebagai generasi penerus, anak muda adalah pihak paling dirugikan dari demokrasi yang kehilangan rohnya.”
Demokrasi yang Kian Menyempit
Dalam nada kritis, Fortunatus menyinggung bahwa lembaga-lembaga yang lahir dari demokrasi kini justru sering melakukan praktik yang tidak demokratis. Di parlemen, katanya, proses pembuatan undang-undang kerap mengesampingkan partisipasi publik. Bahkan, dalam forum resmi, ada anggota DPR yang dengan gamblang menyebut bahwa keputusan pengesahan UU berada di tangan ketua umum partai, bukan di tangan rakyat yang mereka wakili.
“Lalu, apa arti ‘wakil rakyat’ jika suara rakyat tidak lagi menjadi sumber keputusan?” tanya Fortunatus retoris. Ia juga menyoroti tindakan represif pemerintah terhadap demonstrasi dan kritik publik, yang menimbulkan ketakutan baru di tengah masyarakat. Sementara itu, di lembaga penegak hukum, maraknya kasus korupsi dan kolusi dengan pengusaha dan penguasa membuat hukum kehilangan wibawa di mata rakyat.
Anak Muda dan Krisis Kepercayaan Demokrasi
Dalam konteks itu, Fortunatus memaparkan hasil survei CSIS (2022) yang menunjukkan penurunan dukungan anak muda terhadap demokrasi, dari 68,5% pada 2018 menjadi 63,8% pada 2022. Lebih mengkhawatirkan lagi, hanya 1,1% anak muda yang berminat bergabung dengan partai politik — satu-satunya kanal formal untuk melahirkan pemimpin negeri.
“Anak muda banyak, tapi perannya kecil. Mereka seperti buih di samudera: tampak banyak, namun tak punya arah arus yang menentukan,” katanya.
Ia menilai bahwa kebuntuan partisipasi politik anak muda bersumber dari belum adanya kebijakan afirmasi dalam Undang-Undang Partai Politik maupun Pemilu yang memberi ruang bagi generasi muda. Politik elektoral, kata Fortunatus, telah menjadi arena yang mahal dan eksklusif, sehingga demokrasi seolah hanya milik mereka yang punya jejaring dan modal finansial.
Dari Demokrasi Elektoral ke Demokrasi Viral
Dalam bagian reflektifnya, Fortunatus menyinggung fenomena “demokrasi viral” di media sosial sebagai kanal alternatif partisipasi anak muda. Dunia maya, menurutnya, menjadi ruang baru untuk berdiskusi, mengkritik, dan memaksa negara merespons isu publik yang selama ini diabaikan.
“Media sosial seringkali menjadi alat koreksi cepat terhadap kebijakan yang lalai. Kasus yang awalnya tak direspons bisa menjadi prioritas penegak hukum setelah viral,” ungkapnya.
Namun ia mengingatkan bahwa demokrasi tidak bisa terus bergantung pada yang viral. Ruang digital pun kini telah dikuasai oleh modal besar dan industri buzzer yang mempermainkan opini publik. Sementara di sisi lain, ancaman pasal-pasal karet dan pembungkaman akun kritis membuat banyak anak muda takut bersuara.
“Setelah tersisih di demokrasi elektoral, kini anak muda juga terancam di demokrasi viral,” tegasnya dengan nada prihatin.
Seruan Afirmasi dan Harapan
Fortunatus menyerukan agar negara memberi ruang afirmasi politik bagi anak muda, seperti halnya kebijakan afirmasi bagi perempuan pada awal reformasi. Ia menilai, tanpa keterlibatan aktif generasi muda, demokrasi Indonesia hanya akan menjadi ritual prosedural tanpa substansi.
“Akan menjadi ironi besar bila di negeri demokrasi ketiga terbesar di dunia, justru anak muda — pemilik mayoritas suara — menjadi kelompok rentan baru,” ujarnya menutup amanat dengan penuh refleksi.
Upacara peringatan Sumpah Pemuda itu diakhiri dengan pembacaan ikrar bersama dan lagu “Bangun Pemudi Pemuda”. Di antara para peserta, terasa getar kesadaran baru bahwa perjuangan pemuda hari ini bukan lagi melawan penjajahan fisik, tetapi melawan regresi demokrasi dan apatisme politik yang perlahan menggerogoti semangat kebangsaan.
Penulis & Foto : Humas BKM