Lompat ke isi utama

Berita

Demokrasi di Persimpangan: Urgensi Memisahkan Pemilu dan Pilkada dalam Tahun yang Berbeda

pa alfan

Ketua Bawaslu Kabupaten Manggarai, Fortunatus Hamsah Manah

Pemilihan umum adalah pesta demokrasi, namun dalam praktiknya bisa menjadi medan berat yang membebani institusi dan masyarakat jika tidak dirancang dengan bijak. Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 telah mencatatkan sejarah sebagai pertama kalinya dua momentum politik terbesar ini diselenggarakan dalam satu tahun yang sama. Sekilas, ini terlihat sebagai langkah maju menuju efisiensi, tetapi di balik gemerlap slogan “keserentakan”, tersimpan persoalan mendalam yang mengusik jantung demokrasi kita.

Beban Institusi: Ketika Demokrasi Menjadi Lelah

Desain penyelenggaraan pemilu dan pilkada secara serentak pada tahun yang sama ternyata bukan hanya soal menyusun jadwal, melainkan juga soal stamina kelembagaan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara terbuka mengakui bahwa beban kerja meningkat drastis. Bagaimana tidak? Dua proses demokrasi raksasa—dengan skala nasional dan daerah—dipaksa berkejaran dalam rentang waktu yang sempit. Penyelenggara dipaksa mengejar tenggat distribusi logistik, validasi data, pengawasan kampanye, hingga rekapitulasi suara. Ini bukan hanya menguras tenaga, tetapi juga membuka ruang kesalahan prosedural dan lemahnya pengawasan.

Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, pun mengusulkan adanya jeda waktu antara pemilu nasional dan pilkada. Minimal satu tahun. Sebuah saran yang bukan sekadar administratif, melainkan bentuk keinsafan politik bahwa demokrasi yang sehat tak dibangun dengan terburu-buru, apalagi dengan kelelahan sistemik.

Voter Fatigue: Ketika Pemilih Kehilangan Nafas

Partisipasi adalah oksigen demokrasi. Namun ketika pemilu dan pilkada dilangsungkan terlalu berdekatan, publik justru kehilangan napas. Data menunjukkan bahwa partisipasi pemilih dalam Pilkada 2024 merosot ke angka 70 persen, dibandingkan 81 persen dalam Pemilu 2024 sebelumnya. Ini bukan angka kosong. Di baliknya, ada cerita tentang kelelahan mental, kejenuhan informasi, dan apatisme politik. Fenomena voter fatigue menjadi cermin bahwa pemilih bukan mesin suara. Mereka perlu ruang untuk mencerna, membandingkan, dan menentukan pilihan secara sadar.

Jika demokrasi deliberatif, sebagaimana dipahami oleh Jürgen Habermas, menekankan pentingnya diskusi rasional dan informasi yang cukup dalam pengambilan keputusan, maka jadwal pemilu yang mepet justru bertentangan dengan esensi itu. Pemilih menjadi reaktif, bukan reflektif. Pilihan menjadi impulsif, bukan deliberatif.

Polarisasi Politik dan Erosi Isu Lokal

Serentaknya pemilu nasional dan lokal juga membawa dampak lain: polarisasi politik yang makin menajam dan tersingkirnya isu-isu lokal dari panggung kampanye pilkada. Alih-alih membahas kebutuhan rakyat di daerah—seperti infrastruktur, pendidikan, atau ekonomi lokal—para calon kepala daerah justru terseret pada logika politik nasional yang konfrontatif. Mereka meniru gaya kampanye pilpres yang berbasis identitas dan rivalitas, bukan substansi.

Dengan kata lain, serentaknya pemilu justru menyeragamkan strategi politik dan membunuh konteks lokal. Ini berbahaya. Sebab demokrasi sejatinya adalah seni menangkap nuansa, bukan sekadar kalkulasi elektoral yang dibajak oleh popularitas tingkat pusat.

Gagal Efisien: Anggaran Membengkak, Fragmentasi Tetap Tinggi

Narasi besar yang dijual kepada publik saat merancang keserentakan ini adalah efisiensi anggaran dan penyederhanaan sistem kepartaian. Namun realitas menunjukkan sebaliknya. Pemilu 2024 justru menelan biaya Rp76,6 triliun—dua kali lipat dari Pemilu 2019. Apakah hasilnya sepadan?

Menurut peneliti BRIN, Moch Nurhasim, efek ekor jas (coat tail effect)—yakni anggapan bahwa popularitas capres akan mendongkrak suara partai—ternyata tidak terbukti secara signifikan. Fragmentasi partai tetap tinggi, dan sistem kepartaian kita tetap tidak sederhana. Dalam kondisi seperti ini, kita dipaksa untuk bertanya: benarkah efisiensi itu telah tercapai, atau kita hanya menumpuk utang masalah baru?

Pilihan Solusi: Jeda Pemilu dan Pilkada, Sistem Campuran

Di tengah kompleksitas ini, berbagai pakar menawarkan jalan keluar yang rasional. Titi Anggraini, pakar hukum pemilu dari Universitas Indonesia, menilai bahwa jadwal pemilu nasional dan daerah sebaiknya dipisahkan dengan jeda dua tahun. Hal ini bukan hanya soal mengatur waktu, tetapi menciptakan ruang yang cukup agar masyarakat dapat fokus pada isu di masing-masing level pemerintahan.

Lebih jauh, Titi juga menyarankan agar sistem pemilu dikaji ulang. Penerapan sistem campuran—baik mixed-member majoritarian maupun mixed-member proportional—dapat menjadi solusi untuk menjaga keseimbangan antara pemilihan langsung oleh rakyat dan peran partai politik. Ini sejalan dengan semangat demokrasi representatif yang tidak hanya mengejar angka partisipasi, tetapi juga kualitas representasi.

Belajar dari Dunia: AS dan India sebagai Cermin

Jika kita menengok ke negara demokratis lain, pelajaran penting dapat kita petik. Di Amerika Serikat, pemilu nasional seperti presiden dan kongres dilaksanakan terpisah dari pemilu negara bagian maupun lokal. India pun demikian—pemilu di tingkat nasional dan negara bagian dijalankan pada waktu berbeda, disesuaikan dengan kesiapan administratif dan keamanan.

Model seperti ini memungkinkan fokus dan pendalaman isu sesuai konteks lokal maupun nasional. Bukan hanya mengurangi polarisasi, tapi juga meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem.

Jalan Reformasi: Menjawab Tantangan, Menata Masa Depan

Dari semua persoalan yang terungkap, satu hal menjadi jelas: keserentakan dalam satu tahun bukanlah jalan satu-satunya menuju demokrasi efisien. Justru, ia bisa menjadi jebakan sistemik yang memperburuk kualitas demokrasi jika tak ditata ulang.

Pemilu bukan hanya soal memilih, tetapi juga soal memberi ruang bagi rakyat dan penyelenggara untuk berpikir, memahami, dan bertindak secara sadar. Maka, pemisahan jadwal antara pemilu nasional dan pilkada daerah merupakan kebutuhan mendesak. Langkah ini bukan kemunduran, melainkan penyempurnaan desain demokrasi.

Melalui fungsi legislasi, Komisi II DPR RI perlu mengambil tanggung jawab sejarah ini. Revisi regulasi pemilu harus dilakukan dengan semangat reformasi, bukan sekadar respons teknis. Dalam dunia yang makin kompleks, demokrasi Indonesia butuh stamina baru—yang lahir dari desain yang manusiawi, deliberatif, dan berorientasi pada mutu partisipasi, bukan hanya kuantitas.

Demokrasi Bukan Perlombaan, Melainkan Perjalanan

Demokrasi bukan soal siapa cepat dia menang. Ini adalah perjalanan panjang membangun kesadaran kolektif dan representasi yang bermakna. Jika desain pemilu hari ini justru menciptakan kelelahan, polarisasi, dan ketidakefisienan, maka keberanian untuk mengubah arah adalah bentuk tertinggi dari cinta pada demokrasi.

Sudah saatnya kita memahami bahwa pemilu yang baik bukan sekadar diselenggarakan tepat waktu, tetapi juga dalam waktu yang tepat. Dan waktu yang tepat itu bukanlah tahun yang sama untuk dua peristiwa politik terbesar bangsa.

Oleh : Fortunatus Hamsah Manah